Siang jumat itu seperti biasa, semua muslim di daQu
School menghilang dari peredaran alias shalat Jumat. Waktu menunjukkan pukul
12.15 WIB, waktunya anak-anak muslimah menunaikan shalat dhuhur. Biasanya aku
dibantuin temen-temen muslimah untuk menggiring anak-anak ke mushola, tapi kali
ini entah kenapa semuanya ikut menghilang. Yang tersisa hanya satu teman di
bagian keuangan dan satu teman di PPPA. Ah ya sudahlah, toh tidak ada masalah
bagiku untuk meng’handle’ semuanya.
Teeeeeeeetttttttt...........bel
sekolah aku bunyikan, hanya sebagai tanda untuk segera menuju ke mushola. Satu
per satu mereka menuju ke mushola, alhamdulillah tak perlu mengingatkan karena
kali ini tidak ada anak yang bersembunyi atau berniat menunda shalat karena
asyik bermain.
“Siapa imamnya hari ini?” seru salah satu
anak. Ya, setiap hari jumat anak-anak yang bergantian menjadi imam untuk
teman-teman mereka.
“Giliran kelas dua” yang lain menimpali. Sekolah kami karena
sekolah baru dan umurnya baru empat tahun, maka secara otomatis baru ada kelas
1 sampai kelas 4, yang tertinggi. Kelas 4 dan kelas 3 sudah kena giliran pada
semester awal, dan sekarang giliran kelas 2.
“Absen nomer satu siapa?”
“Aisyah (bukan nama asli)”
Aku hanya memperhatikan saja, dan berniat untuk mengambil wudhu, begitu
juga dengan anak-anak yang segera menempatkan sajadah dan mukenanya serta
mengambil air wudhu.
Selesai mengambil wudhu aku masuk ke dalam
mushola, geli sekaligus bangga menyimak pembicaraan mereka. Si Aisyah yang kena
giliran jadi imam sudah bersiap menempatkan diri di posisi imam, tiba-tiba saja
beberapa anak kelas 3 dan kelas 4 mencegahnya.
“Aisyah hari ini imamnya kamu?”
“Iya”
“Sudah tau niat jadi imam belum? Coba lafalkan!” pinta anak kelas
empat
“Usholli fardhodhuhri arba’a rokaatim mustakbilal kiblati adaan
imamal lillahita’ala”, dia melafalkannya dengan lancar. Tapi ternyata tes belum
selesai.
“Bacaan sholatnya sudah hafal belum?” giliran kelas tiga yang
bertanya.
Belum sempat dijawab kelas empat sudah menimpali, “Coba bacaan
tahiyatnya dilafalkan”
Anak kelas empat langsung menembak bacaan
tahiyat akhir karena mungkin itu yang sedikit panjang dan biasanya
terbolak-balik atau ada yang kelewatan. Aku hanya tersenyum bembaca
kekhawatiran mereka, kalau-kalau yang mereka pilih jadi imam ternyata bacaan
shalatnya belum hafal atau masih ada yang salah. Lucu juga, anak-anak untuk
jadi imam ternyata harus melewati serangkaian tes bacaan shlalat dihadapan
teman-temannya. Dalam hati aku bersyukur ternyata mereka paling tidak sudah tahu
syarat-syarat untuk jadi imam.
Membaca ekspresi wajah aisyah yang bengong
campur mengingat-ingat bacaan ditambah rasa terkejut karena tiba-tiba harus di
tes, aku tidak tega hehe. Aku menghentikan niatnya yang hedak melafalkan bacaan
tahiyat. Lagipula waktu sudah menunjukkan pukul 12.25 WIB, sebentar lagi para
muslim sudah kembali ke sekolah, dan mereka juga belum makan siang. Ya
sudahlah, akhirnya satu syarat jadi imam yang biasanya tidak terpenuhi sekarang
terpenuhi, yaitu yang sudah baligh.